Wisata jadi kebutuhan di masyarakat


Wisata, Kebutuhan Masyarakat Semua Kelas
Masyarakat cenderung membeli pengalaman daripada barang.

peningkatan ekonomi middle class atau masyarakat kelas menengah dan digitalisasi.

Masyarakat kelas menengah kini tidak lagi mengejar produk konsumsi. Setelah membeli hal basic seperti rumah dan mobil,

 mereka fokus pada pencapaian aktualisasi diri yang dapat diwujudkan melalui wisata.

 "Mereka jalan-jalan, foto dan share ke media sosial," ujar Sadewa saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (23/1).

Namun, Sadewa mengatakan, rata-rata kebutuhan leisure sebenarnya tidak terjadi di kalangan tertentu.

 Semua kelas sudah menjadikan wisata sebagai bagian dari gaya hidup.

Hanya saja, perbedaan mereka terletak pada tujuan atau destinasi wisata.

 Kelas menengah ke bawah, cenderung memilih destinasi domestik dengan jarak pendek.

 Sadewa memberikan contoh, baby sitter kerap jalan-jalan ke Bogor pada akhir pekan.

Sementara itu, untuk kelas menengah biasanya lebih jauh atau intercity, yakni ke Bali atau Lombok.

Kelas high end, ke luar negeri seperti Singapura," ujarnya.
Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar mengatakan,

 peningkatan prioritas masyarakat terhadap wisata harus ditanggapi pemerintah dan industri dengan terus melakukan perbaikan.

 Termasuk, terhadap harga tiket pesawat yang merupakan salah satu komponen pendukung pariwisata.

Saat ini, Asnawi menjelaskan, harga tiket pesawat seperti tengah mengalami anomali. Sebab, tiket ke luar negeri justru lebih mahal

 dibandingkan ke destinasi dalam negeri. "Kalau dibiarkan terus, devisa jadi terancam," ujarnya.

Ancaman tersebut semakin nyata dengan biaya hidup di ASEAN yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Dampaknya,

masyarakat akan semakin berbondong-bondong memilih liburan di luar negeri.

 Padahal, menurut Asnawi, destinasi wisata dosmetik tengah berkembang.

Asnawi memprediksi, jumlah wisatawan Indonesia yang pergi ke luar negeri atau outbound dapat mencapai 10 juta orang.

 Jumlah tersebut meningkat dibanding dengan 2018 yang mencapai lebih dari 7 juta orang dan 9 juta orang

 pada 2017.
Sementara itu, Menteri Pariwisata Arief Yahya menargetkan

 pertambahan devisa 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp 292 triliun pada 2019. Nominal ini akan membuat pariwisata menjadi industri

 penyumbang devisa terbesar terhadap pendapatan Indonesia, melampaui industri kelapa sawit.

Devisa tersebut didapatkan dari target 20 juta wisatawan mancanegara yang akan tercapai pada tahun ini.

 Arief mengatakan, salah satu faktor pendukungnya adalah pengembangan border

 tourism atau pariwisata perbatasan yang diyakininya dapat menjadi destinasi potensial.

"Tahun ini, ditargetkan 40 persen dari wisman harus dari border. Artinya, dari 20 juta,

 sekitar 8 juta dari border tourism, kata Arief saat ditemui di kantornya, beberapa waktu lalu.