Kita harus berhenti mendengarkan dokter. Mereka tidak mengerti Covid 19 dan tidak bisa menyelesaikan pandemi.

Tampa


knya menjadi kepercayaan yang mendekati kebenaran bahwa profesi dokter jauh dari kecurigaan. Ibaratnya sang dewa dengan jas putih. Tetapi mari kita ajukan beberapa pertanyaan sederhana: Mengapa mereka tidak memiliki solusi untuk pandemi Covid 19? Mengapa diabetes, penyakit jantung, obesitas, dan semua PTM (Penyakit Tidak Menular) lainnya naik terus? Jika dokter begitu hebat, mereka akan mampu memperbaiki hal-hal tersebut. Sebaliknya, semuanya semakin buruk.

Pertama, mari kami jelaskan tentang penyakit kronis (PTM) dan juga hubungannya dengan Covid 19.

Hubungan sebab akibat langsung antara konsumsi makanan olahan, makanan cepat saji dan gula dengan penyakit kronis (PTM) telah dibuktikan oleh banyak penelitian, pencarian google sederhana mengungkapkan daftar panjang studi dari lembaga paling terkemuka di dunia. Kami pilih yang paling signifikan adalah laporan yang diterbitkan oleh WHO pada tahun 2003 yang dapat ditemukan di sini. Pola makan yang buruk adalah penyebab utama penyakit kronis, ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Dan itu sudah diketahui sejak lama, seperti yang bisa kita lihat dari tahun (2003) laporan WHO.

Jadi bagaimana dengan tautan ke penyakit parah dan kematian akibat Covid 19? Beberapa penelitian sudah dipublikasikan, salah satu contohnya yang diterbitkan oleh US National Institute of Health pada 16 Juli 2021 berjudul “COVID-19: infeksi, perkembangan, dan vaksinasi. Fokus pada obesitas dan gangguan metabolisme terkait”. Link ke study

Kesimpulan dari publikasi ini cukup mengejutkan:

“Pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait memiliki peningkatan risiko terinfeksi SARS-CoV-2. Selain itu, karena respons imun yang terganggu di paru-paru, respons sistemik hiper-inflamasi, peningkatan risiko trombosis dan peningkatan viral load, pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait juga mengembangkan komplikasi parah pada infeksi SARS-CoV-2, yang mengarah ke peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas pada COVID-19”

dan

“Obesitas dikaitkan dengan berkurangnya respons memori dari sistem imun yang mengarah pada berkurangnya perlindungan jangka panjang terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu, meskipun ada hasil vaksinasi COVID-19 yang menjanjikan, pasien dengan obesitas mungkin masih rentan untuk terinfeksi ulang dengan SARS-CoV-2 dalam jangka panjang. Ini dapat memengaruhi herd immunity dan berdampak pada eliminasi SARS-CoV-2. Kesimpulannya, untuk membatasi dampak COVID-19 lebih lanjut pada pasien dengan obesitas dan gangguan metabolisme terkait, dan masyarakat, efektifitas vaksin COVID-19 jangka panjang harus dipantau secara ketat pada pasien ini. “

Menurut suatu penelitian di UI, tingkat obesitas di Indonesia adalah 28%.

Disini, kita perlu menambahkan definisi lebih lanjut untuk obesitas. Tidak semua orang “obesitas” terlihat secara fisik kelebihan berat badan, banyak juga yang “TOFI”. Wikipedia mendefinisikannya sebagai “TOFI (tipis-luar-lemak-dalam) digunakan untuk menggambarkan individu kurus dengan jumlah lemak yang tidak proporsional yang tersimpan di dalam perut mereka”.

Mengenai Diabetes, kita juga memiliki masalah tambahan: “Prevalensi diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis adalah 4,1% dari total 5,6% populasi diabetes di Indonesia.”

Jadi kita memiliki sejumlah besar orang “obesitas” yang tidak terlihat kelebihan berat badan, dan sebagian besar diabetes tidak terdiagnosis di Indonesia, yang berarti orang maupun dokter tidak mengetahui kondisi komorbid mereka.

Semua hal ini sudah diketahui di Indonesia: Studi Universitas Islam Bandung  yang dipublikasikan di Jurnal UGM

Seperti yang kita bisa lihat, Covid 19 dan PTM sangat erat hubungannya. Dokter tidak bisa menyembuhkan Covid 19, karena tidak mengerti dan tidak bisa memperbaiki PTM. Jadi mari kita lihat alasan dan solusi yang mungkin.

Kita dapat menemukan jawaban pertama dari salah satu sekolah kedokteran paling terkenal di dunia: Harward Medical School. Mereka menerbitkan artikel pada tahun 2017 dengan judul “ Dokter membutuhkan lebih banyak pendidikan nutrisi” – “Doctors need more nutrition education”. Artikel tersebut dapat ditemukan di sini: Artikel

Berikut adalah beberapa kutipan:

“Meskipun ada hubungan antara pola makan yang buruk dan banyak penyakit yang dapat dicegah, hanya sekitar seperlima dari sekolah kedokteran di Amerika mengharuskan mahasiswanya untuk mengambil mata kuliah tentang nutrisi

“Saat ini, sebagian besar sekolah kedokteran di Amerika Serikat mengajar kurang dari 25 jam nutrisi selama empat tahun. Fakta bahwa kurang dari 20 persen sekolah kedokteran memiliki satu mata kuliah wajib gizi, itu adalah skandal. Ini keterlaluan.”

Sementara pernyataan-pernyataan ini tentang AS, menurut penelitian kami hal yang sama berlaku untuk Indonesia.

Kita bisa melihat sendiri saat kita mengunjungi dokter dengan kondisi apapun, dari batuk-pilek sederhana sampai diabetes atau hipertensi, penyakit jantung dll. Apa yang kita dapatkan dari dokter? Resep untuk beberapa obat dan/atau rekomendasi untuk menjalani operasi. Kita mendapatkan “solusi” farmasi dan / atau bedah. Tidak pernah kita mendapatkan saran untuk mengubah pola makan, makan lebih sehat atau mengurangi/menghentikan konsumsi gula. Kami telah menunjukkan sebelumnya dalam artikel ini bahwa pola makan adalah penyebab utama, dan juga obat utama, untuk hampir semua PTM dan juga untuk mengurangi penyakit parah dan kematian hingga 90% akibad Covid 19. Dokter tidak peduli atau tidak mengetahui itu, mereka terus melakukan hal yang sama seperti yang telah mereka lakukan selamanya dan yang tidak berhasil.

Ketidakmampuan dokter Indonesia juga bisa kita lihat dengan jelas terkait penyintas Covid-19. Semua bukti ilmiah dan bahkan WHO jelas bahwa penyintas Covid 19 tidak membutuhkan vaksin, kekebalan alami jauh lebih kuat dan bertahan jauh lebih lama daripada kekebalan dari vaksin. Tapi dokter Indonesia mengabaikan semua itu dan hanya ingin memvaksinasi semua penyintas Covid 19. Kami telah menulis artikel dengan semua bukti resmi dan ilmiah yang menunjukkan bahwa penyintas Covid 19 tidak memerlukan vaksin dan tidak sebanding dengan risikonya. Artikel

Menurut kami, penyebab utamanya adalah “industri” medis. Industri obat skala besar. Rumah Sakit skala Besar. Keuntungan Besar. Tidak ada keuntungan yang bisa diperoleh dari orang sehat. Keuntungan terbesar diperoleh dengan menjaga pasien tetap hidup dengan obat-obatan mahal dan prosedur medis, yang harus dijalani pasien selama sisa hidup mereka yang singkat.

Ini mungkin juga menjadi alasan mengapa sebagian besar dokter Indonesia hanyalah pendorong vaksinasi massal Covid 19 alih-alih solusi nyata dan mengabaikan atau menyembunyikan fakta bahwa vaksin Covid 19 bersifat eksperimental, berbahaya dan sangat tidak efektif. Pola perilaku yang sama, yang mendorong hal-hal yang membuat industri farmasi meraup keuntungan besar sementara mengabaikan kesehatan pasien mereka.

Sudah waktunya untuk berhenti mendengarkan “dokter yang berorientasi pada profit” untuk solusi penyakit kronis dan Covid 19. Kita perlu menghentikan semua jenis makanan dan minuman olahan serta penambahan “gula sederhana” dari sumber makanan kita untuk memperbaiki hampir semua masalah kesehatan masyarakat, maka kita tidak perlu dokter lagi untuk itu. Dan kemudian kita akan memiliki banyak sumber daya medis yang tersedia untuk memberikan perawatan berkualitas untuk penyakit akut, di mana kedokteran dan teknologinya sangat baik dan menyelamatkan banyak nyawa.

 

Related Posts

Investigasi Indikasi Korupsi Pengadaan Peralatan terkait Covid 19 | Bagian 1